Hikmah Ilahi- Tafsir Al-Azhar
Oleh: Prof. Dr Hamka
Telah dicoba menghuraikan “Tafsir” ini tiap-tiap pagi waktu subuh sejak
akhir tahun 1958, namun sampai Januari 1964 belum juga tamat. Telah ditulis
berturut-turut dalam majalah Gema Islam sejak Januari 1962 sampai Januari 1964,
namun hanyalah satu setengah juzu’ saja, dari juz’ 18 sampai juzu’ 19.
Tiba-tiba pada 12 haribulan Ramadhan 1383 bertepatan dengan 27 Januari
1964, berlakulah takdir Allah yang tidak dapat dielakkan: “Jika langit hendak
jatuh, bagaimanalah telunjuk bisa menahannya.”
Pada hari Isnin, tanggal 12 haribulan Ramadhan 1383, bertepatan dengan 27
Januari 1964, saya mengadakan pengajian mingguan di Masjid Agung Al-Azhar
terhadap kira-kira 100 orang kaum ibu, yang umumnya terdiri dari kaum
terpelajar. Yang ditafsirkan hari itu ialah surah al-Baqarah ayat 255, atau
ayat al-Kursi yang biasa dihafal itu. Pukul 11 siang selesailah pengajian dan
kembalilah saya ke rumah akan berlepas lelah sejenak menunggu datangnya waktu
zohor.
Tiba-tiba setelah kira-kira setengah jam saya istirahat, anak saya
memberitahu ada empat orang tetamu yang telah duduk di beranda muka ingin
bertemu dengan saya. Saya berlalai-lalai kira-kira lima minit, dan saya lihat
dari celah pintu ada sebuah mobil Fiat berhenti. Pada sangka saya tentulah
keempat tetamu itu pengurus dari salah satu masjid di Jakarta yang mengundang
untuk mengadakan tabligh dan tarawih bulan puasa.
Dengan tenang sayapun keluar. Wajah keempat tamu itu tenang dan penglihatan
mereka mendalam kepada saya. Sayapun bertegur sapalah dengan mereka baik-baik
dan bertanya apakah agaknya maksud kedatangan mereka. Lalu seorang di antara
mereka menghulurkan sepucuk surat, bersampul baik. Surat itu saya baca dengan
tenang; rupanya ialah surat perintah menangkap saya! Barulah saya tahu keempat
mereka adalah polisi berpakaian preman.
Dalam keadaan tidak tahu apa kesalahan saya dalam tengahari letih berpuasa,
saya dijemput dan dicabut dengan segenap kekerasan dari ketenteraman saya
dengan anak isteri, disisihkan dari masyarakat dan dimasukkan ke dalam tahanan.
Setelah empat hari dalam tahanan barulah saya diperiksa, dengan tuduhan
yang amat hebat dan ngeri. Yaitu bahwa saya mengadakan rapat gelap di
Tanggerang pada tanggal 11 Oktober 1963. Yang diperkatakan dalam rapat itu
ialah hendak membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, dan hendak mengadakan Coup d’etat.
Untuk semua maksud ini saya mendapat bantuan dari Tengku Abdul Rahman
Putera, Perdana Menteri Malaysia banyaknya empat juta dollar. Artinya menurut
tuduhan ini saya adalah seorang pengkhianat besar kepada tanahair saya sendiri.
Dan dituduh pula bahwa dalam salah satu kuliah saya pada bulan Oktober 1963
pada Institut Agama Islam Negeri (I.A.I.N) di Ciputat, menghasut Mahasiswa agar
meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureueh, M. Natsir Dan Syafruddin
Prawiranegara. Kalau mereka gagal semua, kamu janganlah sampai gagal!
Sedihlah kita memikirkan bagaimana jatuhnya mental dan moral manusia pada
masa itu. Rupanya di dalam 9 orang mahasiswa yang saya beri kuliah di IAIN di
waktu itu menyelinap “mahasiswa” yang kerjanya adalah mendengar-dengar kalau
ada “kuliah” yang diberikan oleh seorang dosen atau guru besar, yang dapat
ditarik-tarik untuk dijadikan beban fitnah bagi menghancurkan dosen tersebut.
Dengan segala hormat saya diminta mengajar di IAIN dalam mata pelajaran Ilmu
Tasauf, rupanya buat dipasangkan jerat bagi memfitnah saya.
Baik di pondok-pondok kuno di sudut desa, ataupun di Universitas di kampus
tertentu, terdapat satu tradisi, yang rasa hormat mahasiswa kepada guru
besarnya. Tetapi di masa itu mahasiswa “ditunjuk” untuk mencari jalan bagaimana
supaya dosennya ditarik ke dalam tahanan.
Sungguh aneh, tetapi benar!
Difitnahkan pula bahwa perjalanan saya di awal September 1963 di Pontianak
maksudnya ialah mengadakan “kontrak” dengan kakitangan Tengku Abdul Rahman yang
ada di daerah itu. Padahal pidato saya di muka rapat umum di Pontianak itu
diambil dengan tape-recorder,
yang isinya menguntungkan Konfrontasinya
Sukarno, bukan menyokong Tengku Abdul Rahman.
Itulah fitnah-fitnah yang ditimpakan kepada diriku, sehingga ditahan,
ditanya dan diperiksa, tidak kurang daripada dua setengah bulan lamanya. Dengan
segala macam usaha saya dipaksa buat mengaku apa yang dituduhkan. Menurut
peraturan akal yang sihat, polisi yang memeriksa, itulah yang mesti mengemukakan
bukti-bukti kesalahan yang dituduhkan.
Tetapi ini sebaliknya dari itu. Dengan tekanan batin yang sangat menyesak,
dipasang pertanyaan-pertanyaan, kadang-kadang dengan gertak, kadang-kadang
tidak membiarkan istirahat agak sejenak, kita yang ditanya disuruh mengakui
hal-hal yang telah disusun menjadi tuduhan.
Dan setelah “selesai” segala pemeriksaan, teruslah ditahan. Ditahan, dengan
tidak ada tanda-tanda akan segera dikeluarkan. Kalau tidaklah terjadi perubahan
politik karena GESTAPU/P.K.I dengan membunuhi Jenderal-Jenderal pada 30
September 1965, tidaklah nampak suatu lobang harapanpun bahwa akan segera
dikeluarkan dari tahanan, satu peraturan yang dinamai Pen. Pres (Penetapan
Presiden), no. 11/1963.
Yaitu undang-undang yang membolehkan menangkap orang yang diduga atau
dituduh melakukan subversif. Menurut undang-undang ini, setelah dilakukan
pemeriksaan dan ternyata cukup buat membawa si tertuduh ke muka hakim, maka
dalam masa selama-lamanya enam bulan, si tertuduh segera dihadapkan ke muka hakim.
Tetapi kalau ternyata tidak cukup alasan, maka kejaksaan berhak menahan
selambat-lambatnya satu tahun. Bahkan di dalam salah satu fasal undang-undang
itu diperingatkan pula agar jaksa menjaga jangan sampai terjadi penahanan yang
berlarut-larut.
Tetapi apa yang terjadi dalam perlaksanaan? Beratus-ratus orang yang telah
ditahan dengan memakai Pen. Pres. no. 11/1963 ini. Asal ada saja dugaan bahwa
seseorang melakukan tindak pidana (kejahatan) subversif, ditangkaplah dia dan
ditahan. Setengahnya disiksa dengan kejam, sampai jarak di antaranya dengan
maut hanya beberapa langkah saja, bahkan ada yang sampai mati.
Dikarang-karanglah berbagai fitnah, dengan tidak mempertimbangkan lagi benar
atau tidaknya, masuk akalkah tuduhan itu atau tidak.
Masuk akalkah seorang sebagai saya, beranak sepuluh dan bercucu beberapa
orang pula, akan begitu berani bermaksud membunuh Presiden dan Menteri Agama
dan hendak mengadakan Kup. Rupanya, benar atau tidak tuduhan itu, masuk akal
atau tidak, bukanlah soal.
Yang soal ialah menyingkirkan seseorang yang dipandang musuh poloitik atau
dibenci dari masyarakat dan diri anak isterinya. Dan setelah nyata bahwa tidak
ada bukti dan bahwa tuduhan itu adalah fitnah dan palsu belaka, bukanlah
ditahan selambat-lambatnya satu tahun, sebagai ditulis dalam Pen. Pres. no
11/1963 itu, melainkan sampai lebih daripada dua tahun.
Pada masa itu, selalulah disorak-sorakkan bahwa Negara berdasarkan
Pancasila, dan Pancasila itu tidak boleh diutik-utik. Untuk membela Pancasila,
mereka injak-injaklah si Pancasila itu. Untuk menjunjung tinggi Pancasila, si
Pancasila dikuburkan. Untuk membela Dasar Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
orang beragama mesti bekerjasama dengan Komunis.
Untuk menegakkan perikemanusiaan orang-orang yang dibenci ditangkapi dan
dibenamkan ke dalam penjara, sedang anak-isterinya yang tinggal dibiarkan
melarat, dan kalau ada yang mencoba hendak menolong anak isteri orang itu, yang
menolong itu dituduh Kontra Revolusi.
Keadilan sosial dasar Negara yang kelima ditegakkan dengan bersungguh-sungguh,
yaitu dibagi-bagilah dengan adil merata kemiskinan dan kemelaratan, ketakutan
dan kecemasan di kalangan rakyat banyak; sedang bapak-bapak saking kasihannya
terhadap rakyat “tak usah” mengambil bagian sedikit juapun dari kemiskinan dan kemelaratan
itu. Pada waktu itulah Sukarno sebagai Kepala Negara selalu menganjurkan supaya
rakyat makan batu. Sedang kemewahan dan kekayaan, tidak usah dibagi-bagi,
biarlah beliau dengan kakitangannya saja.
Untuk menerima keadilan yang merata itu, mendapat bahagianlah saya di rumah
tahanan selama dua tahun empat bulan.
Melihat tanggal mulai Pen. Pres itu diundangkan, beratlah persangkaan saya
Pen. Pres ini yang terutama ditujukan kepada diri saya sendiri. Sebab saya
dituduh mengadakan rapat gelap di Tanggerang pada 11 Oktober 1963, sedang Pen.
Pres itu diundang-undangkan pada tanggal 14 Oktober 1963.
Sebab itu nyatalah bahwa penangkapan dan penahanan atas diri saya itu
adalah kezaliman yang dilegalisir (dihalalkan) dengan undang-undang. Segala
tuduhan itu adalah fitnah belaka. Saya ditangkap adalah guna menutupi maksud
yang sebenarnya, yaitu menyingkirkan saya dari masyarakat.
Karena sejak saya memulai perjuangan menyebarkan Agama Islam, baik sebelum
saya berpangkalan di Mesjid Agung Al-Azhar, atau sesudahnya, saya hanya
menuruti satu garis yang tertentu, tidak membelok ke kiri kanan, yaitu
menyebarkan kata Allah dan kata Rasul menurut yang saya yakini, tidak membenci
pemerintah, dan tidak pula menjilat-jilat pemerintah, dan tidak pula mahu
menyediakan diri mempermainkan keyakinan agama, untuk mencapai ridha manusia
yang sedang berkuasa. Sebab tempat saya bertanggungjawab bukanlah manusia,
melainkan Allah semata.
Tetapi rencana yang lahir daripada manusia lain dari rencana yang ghaib
dari Allah. Yang berlaku adalah rencana Allah. Orang-orang yang memfitnah dan
menzalimi saya sudah merasa sangat gembira karena saya telah dibungkemkan dan
disisihkan.
Tetapi disamping hati mereka yang telah puas, Tuhan Allah telah melengkapi
apa yang disabdakanNya di dalam surah At-Taghabun ayat 11. Yaitu bahawa segala
musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan izin Allah belaka. Asal manusia
beriman teguh kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan hidayat ke dalam
hatinya.
Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak isteri
dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan
pekerjaan berat ini, menafsirkan al-Quranul Karim. Karena kalau saya masih di
luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati.
Masa terpencil terpencil dua tahun telah saya pergunakan sebaik-baiknya.
Maka dengan petunjuk dan hidayat Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum
saya dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran al-Quran 30 juzu’ telah
selesai. Dan semasa dalam tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula
buat menyisip mana yang masih kekurangan.
Sungguhlah suatu keajaiban kalau kita perbandingkan di antara kehendak
Allah dengan kehendak manusia. Saya insaf benar bahwa kesanggupan yang
diberikan tuhan kepada saya, diberi tugas hidup buat mengarang dan berpidato,
tidaklah semua orang yang menyenanginya. Banyaklah mereka itu yang hasad
melihat kesanggupan ini.
Yaitu manusia-manusia yang berjiwa kecil, yang
menyangka bahwa dengan berbuat dan menyusun fitnah, hasad dengkinya bisa
dilepaskan. Yang merasa diri BESAR karena pangkat, dan kembali menjadi kepinyuk
kecil setelah pangkatnya ditinggalkan dari dirinya.
Bagaimanalah kalau mereka tahu bahwasanya masa tahanan dua tahun itu
kelaknya akan menghasilkan karangan sebesar ini? Kalau mereka diberitahu Tuhan
bahwa hal ini akan kejadian, agaknya akan mereka undurkanlah maksud mereka
memfitnah saya, dan tidaklah jadi-jadi “Tafsir” ini.
Sungguh Allah Maha Kuasa!
Zaman bergilir, ada yang naik dan ada yang jatuh, dunia tiada kekal. Bagi
diriku sendiri, di dalam hidup ini akupun datang dan akupun pergi. Kehidupan
adalah pergiliran di antara senyum dan ratap. Airmata adalah asin; sebab itu ia
adalah garam dari penghidupan.
Aku mengharap, jika aku mendapat aniaya oleh suatu kekuasaan orang zalim,
hanya semata-mata karena mereka suatu waktu berkuasa, pasti datang zamannya,
aku dan mereka sama-sama tidak ada lagi di dunia ini. Maka moga-moga dengan
meninggalkan “Tafsir” ini, ada yang diingat-ingat orang dari diriku sebagai
suatu hasil khidmat untuk Tuhan dan ummat. Yang dapat aku kerjakan di dalam
saat-saat aku teraniaya.
Moga-moga akan datanglah masa-nya, aku tidak ada lagi dan orang-orang
menganiayakupun tidak ada lagi, tetapi “Tafsir” ini masih dibaca dan ditelaah
orang, walaupun pengarangnya sudah lama berlalu. Dan aku tidak dapat
memastikan, apakah yang menjadi buah tutur orang terhadap para penganiaya itu
setelah mereka meninggalkan dunia yang fana ini?
Kalau tidaklah mengingat akan “kehidupan kedua kali” itu, mungkin sudah
lama saya pun dibawa hanyut oleh nafsu hendak berkuasa dan kemudiannya menjadi
mabuk oleh kekuasaan itu: Na’udzu Billah!
Seorang di antara anak saya pernah mengusulkan supaya di kata pendahuluan
“Tafsir” ini saya sampaikan terima kasih kepada mereka yang telah menyusun
fitnah ini, yang menyebabkan saya ditahan sekian lama. Oleh karena tersebab
tahanan inilah “Tafsir” ini dapat dikerjakan dengan tenang dan dapat
diselesaikan. Maka usul anak saya telah saya jawab:
“Tidak anakku! Ayah tidak hendak berterima kasih kepada mereka itu! Karena terima
kasih yang demikian akan menambah hasad mereka juga. Bahkan akan mereka katakan
ayah mencemuh kepada mereka karena maksud mereka digagalkan Tuhan. Ayah
belumlah mencapai derajat yang demikian tinggi, sehingga mengucapkan terima
kasih kepada orang yang aniaya, zalim, hasad, dengki. Atau orang memakai
kekuasaan yang ada dalam tangan mereka buat melepaskan sakit hati. Ayah akan
tetap berpegang pada pendirian Tauhid, yaitu mengucapkan syukur dan puji-pujian
hanya untuk Allah saja.
Allah Yang Maha Kuasa atas segala kekuasaan, Allah yang lebih tinggi dari
segala macam kebesaran. Allah yang ajaib siasatnya daripada segala siasat
manusia. Hanya kepadaNya sajalah ayah sampaikan segala syukur dan segala terima
kasih.
Adapun kepada mereka itu yang telah menyusun fitnah itu, atau yang telah
menumpangkan hasadnya dalam fitnah orang lain, setinggi-tinggi yang dapat ayah
berikan hanya maaf saja. Sebab kalau berpangkat dan berkuasa, maka pangkat dan
kekuasaan itu adalah bergiliran di antara manusia.
Betapa tidak, karena fitnah dan hasad manusia ayah terpencil. Padahal dalam
masa terpencil itulah ayah dapat berkhalwat dan beribadat lebih khusyu’.
Saat-saat senggang yang begitu luas, malamnya dapat ayah pergunakan buat
ibadat, munajat dan tahajjud. Siang yang panjang dapat ayah gunakan buat
mengarang, tafakkur dan muthalaah. Semuanya itu dengan pertolongan dan hidayat
Tuhan.”
Mereka yang hasad dan zalim itulah yang sebenarnya diazab oleh perasaan
hati mereka sendiri. Mereka adalah orang yang mabuk oleh karena kekuasaan.
Mereka berperang di dalam hati sendiri, di antara perasaan halus sebagai insan,
dengan kekuasaan tuntutan hawa nafsu.
Niscaya di antara mereka ada juga sisa-sisa iman dalam hati mereka. Di
dalam sanubari mereka kadang-kadang tentu timbul penyesalan sebab mereka telah
berbuat aniaya kepada orang tidak bersalah. Mereka telah menyebabkan
terpisahnya seorang ayah dengan anak-anaknya, seorang suami dengan isterinya.
Dan mereka sebab masih ada sisa iman, masih percaya bahwa satu waktu keadilan
Tuhan akan berlaku ke atas diri mereka. Tetapi oleh karena satu kali jiwa
mereka telah terjual kepada syaitan, mereka tidak bisa surut lagi.
Di dalam surah al-Baqarah ayat 257 diterangkan perbandingan jiwa orang yang
berwali kepada allah dengan orang yang berwali kepada syaitan. Adapun orang
yang berwali kepada Allah, maka Allah mengeluarkan mereka dari gelap gulita
rohani kepada terang benderang (Nur) iman. Tetapi orang yang berwali kepada
thaghut, yaitu syaitan halus dan syaitan kasar, besar, berhala atau manusia
yang diberhalakan, atau yang disebut tirani, yang di dalam Arabnya disebut juga
thaghiyah, yang satu rumpun dengan thaghut tadi, maka thaghut ini mencabut
mereka daripada terang kepada gelap.
Kalau tadinya iman mereka sudah ada, lantaran berwali kepada thaghut, maka
iman itu kian lama kian kabur, akhirnya bisa habis. Mereka kadang-kadang
menyesal, tetapi tidak dapat lagi melepaskan diri daripada thaghut itu.
Sehingga kita dapat bertanya: “Siapakah yang beroleh kemerdekaan jiwa? Apakah
kami yang dianiaya dan difitnah, ataukah penganiaya atau tukang-tukang fitnah
itu sendiri?”
Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah tatkala beliau telah
dipenjarakan karena hasad dengki musuh-musuhnya. Pada waktu beliau hidup, dia
hanya manusia biasa, bukan berpangkat, bukan berkuasa. Maka pihak-pihak yang
berkuasa mempergunakan kekuasaan buat menahan beliau, sehingga bertahun-tahun
lamanya beliau meringkuk dalam penjara. Sebabnya hanya satu, yaitu jiwanya
tidak bisa dibeli dengan pangkat.
Maka berkatalah beliau kepada muridnya Ibnul Qayyim, yang sama-sama
dipenjarakan orang: “Apakah lagi yang didengkikan oleh musuh-musuhku kepadaku?
Penjara itu bagiku adalah untuk berkhalawat, dan pembuangan adalah untuk
menambah pengalaman! Orang yang terpenjara ialah yang dipenjarakan oleh hawa
nafsunya dan orang yang terbelenggu itulah yang telah dibelenggu oleh syaitan.”
Tidaklah dapat saya menghitung berapa nikmat Ilahi yang telah saya terima.
Satu di antara nikmatnya yang besar kepadaku ialah aku tidak termasuk dalam
golongan tukang fitnah dan tidak pula termasuk orang yang zalim.
Imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan, bahwasanya tanda alamat orang yang
berjalan atas yang hak ialah bila dia mati dihantarkan jenazahnya ke pusaranya
oleh ribu-ribu manusia, dengan sukarelanya sendiri. Perkataan Ahmad bin hambal
ini dicatatkan kembali oleh pengarang riwayat hidup Ibnu Taimiyah setelah
beliau wafat. Ialah karena menyaksikan bahwa seketika jenazahnya beliau
hantarkan dari dalam penjara Damaskus ke perkuburan, telah diiringkan oleh
tidak kurang daripada satu juta manusia!
Ibnu Taimiyah telah mati, sebab itu dia tidak menyaksikan begitu besar
jumlahnya orang yang mencintai dia. Tetapi saya sekali lagi bersyukur kepada
Allah, dan beribu kali lagi bersyukur kepada Allah, karena saya dengan sebab
tahanan ini dapat menyaksikan bahwa masih ada rupanya orang yang mencintai
saya. Baik sejak saya dalam tahanan di rumah sakit, ataupun setelah dalam
tahanan rumah ataupun setelah tahanan kota.
Ada utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Palembang. Dan salah seorang utusan
yang dari Palembang ini ialah seorang Ulama dari Mesir, dosen salah satu
perguruan tinggi Islam di sana. Beliau menyampaikan pula bahwa ulama-ulama di
Al-Azhar mendoakan moga-moga saya lekas terlepas daripada balabencana ini. Dan
juga utusan dari Makasar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan
lain-lain. Dan dari beberapa kawan yang kembali dari mengerjakan Haji, saya
terima khabar bahwa beratus-ratus di antara mereka mendoakan di Multazam, moga-moga
keadilan Allah berlaku, kejujuran menang dan kecurangan tumbang.
Semuanya itu dapat saya saksikan tatkala saya masih hidup, dengan tidak
menunggu mati terlebih dahulu buat diiringkan orang jenazah saya ke perkuburan
dengan sukarela.
Sungguh Allah Maha Kuasa!
Dan satu nikmat lagi yang kurasakan sampai sekarang bahkan Insya Allah
sampai saya menutup mata kelak tidak akan hilang-hilang dari dalam jiwaku,
ialah nikmat pada jiwa sejak sehari aku dibebaskan dari tahanan. Pihak
Kejaksaan Agung dan pihak Panglima Angkatan Kepolisian mengeluarkan “Surat
Keterangan” bahwa aku tidak bersalah, sebab itu kepadaku tidak akan diadakan
tuntutan dan aku dibebaskan.
Aku bersyukur dan aku bersujud kepada Tuhan.
Sebab selama dalam tahanan itu, selain dari mengerjakan “Tafsir” ini di
waktu siang, di malam hari mendapat kesempatan sangat luas buat mengerjakan
Tilawatul-Quran, sampai khatam lebih dari 100 kali. Saya mendapat kesempatan
buat mengerjakan Tahajjud dan munajat hampir setiap malam. Buku-buku penting
dalam hal Tasauf, Tauhid, Filsafat Agama, Hadis-hadis Rasulullah, Tarikh
pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasauf dan ulama, jalan akhirat
dapat saya baca dan dapat saya resapkan ke dalam jiwa. Sungguh, kalau penahanan
ini tidak terjadi, tidaklah saya akan mendapat kesempatan seluas itu.
Terus terang saya katakan di sini, bahwa sekali-sekali, atau kerapkali
timbul juga kesedihan hati karena kemerdekaan dirampas, apatah lagi karena
berbulan-bulan lamanya “gelap” saja keadaan, tak tentu lagi bila akan pulang,
sehingga kerap juga ditimpa rasa murung. Mengarang tafsir di waktu pagi,
membaca buku-buku di petang hari, tilawatil-Quran di antara maghrib dan isya’,
dan tahajjud serta munajat lepas tengah malam, adalah obat yang paling mujarab
pengobat muram dan kesepian. “Di waktu segala jalan hubungan di bumi ditutup
orang, hubungan di langit lapang terluang.”
Di waktu saya telah keluar dan bebas, saya bersujud mensyukuri nikmat dan
memohon ampun saat-saat aku merasa lemah. Sebab sesampai di luar terasalah
kekayaan jiwa karena lepas dari ujian itu. Bersyukur atas kesempatan ibadat dan
munajat yang diberikan Tuhan. Bersyukur karena dua tahun empat bulan lamanya
aku disimpan Tuhan, sehingga tidak kena kekotoran dan debunya zaman kezaliman,
yang kalau saya di luar pada masa itu, mungkin untuk menjaga keselamatan diri
sendiri, saya terpaksa menempuh jalan orang munafik, turut menyokong kezaliman
itu padahal berlawanan dengan hati.
Di dalam orang di mana-mana menyorak soraikan Orde Baru dan
menentang Orde Lama, dengan kepala terangkat dan tahu harga
diri saya dapat berkata bahwa saya tidak termasuk Orde Lama. Allah sendiri, dengan memakai tangan
orang-orang yang zalim itu, yang memeliharakan saya dari cap Orde Lama.
Kemudian Allah memperlihat terus menerus kekuasaanNya, orang-orang yan
berbuat zalim itu jatuh satu demi satu dari kemegahannya. Mereka tidak
tergantung kepada Tuhan, melainkan kepada pangkat. Pangkat itupun jatuh. Ada di
antara mereka yang telah hilang saja dari arena masyarakat, meskipun tubuh masih
ada.
Ada yang ditahan berbulan-bulan dan menunggu perkara dibuka, sebagaimana
yang dahulu mereka lakukan kepada orang lain, dan ada yang menerima hukuman
dari kesalahannya, hukuman buang atau hukuman mati. Dan ada yang payah
mengangkat muka kepada masyarakat, sebab segala perbuatan di zaman kemegahan
dahulu tidak lepas dari ingatan masyarakat. Dan ada pula yang lebih tinggi
sorak sorainya menyerukanOrde Baru, meskipun
orang tahu lakon yang pernah dilaluinya.
Alhamdulillah, saya dibebaskan Tuhan daripada itu semuanya. Maka di samping
bersujud karena bersyukur, saya bersujud karena memohon ampun kepada Tuhan,
sebab di dalam sepinya pengasingan, kerap juga saya muram dan merasa sepi.
Karena rupanya perahu iman itu mesti berlayar di atas hidup yang bergelombang.
Ampuni aku, ya Tuhanku, atas kelemahanku. Laksana lautan nikmat yang Engkau
timbakan ke atas diriku, sedang persediaan diri ini amat kecil buat
menampungnya.
Dari usia masih muda remaja, sampai mulai tua menjunjung uban, tidaklah
mendatar saja jalan yang harus aku tempuh. Karena tahanan lebih dua tahun ini
adalah menjadi salah satu matarantai kalung keemasan yang ditatahkan pada leher
sejarah hidupku. Dia menjadi lebih indah lagi, karena kezaliman dan fitnah ini
baru menimpaku setelah tanahairku merdeka!
Aneh, tetapi benar!
Susun kata apakah lagi yang harus aku susunkan buat mengucapkan syukur
puji-pujian kepada Allah atas segala nikmat yang telah Dia beriakan kepadaku.
Aniaya manusia diputar olehNya menjadi nikmat. Aku difitnah, dizalimi dan
dipisahkan dari masyarakat, namun imanku bertambah dalam kepadaNya, cintaku
tidak dapat lagi dapat diperbandingkan dengan segala macam cinta.
Ada beberapa orang muridku pula, mengatakan bahwa pangkatku dalam hati kaum
Muslimin, khususnya yang berbahasa Indonesia dan Melayu, sudahlah tinggi.
Aku syukuri penilaian itu dan aku akui, tetapi aku tambahkan lagi.
Pangkatku ini aku cari sendiri dengan tidak merugikan orang lain dan tidak
dengki kepada pangkat orang lain. Pangkatku ini tidak aku dapat dengan berpijak
di atas kuduk orang-orang yang memusuhiku; syukur Alhamdulillah!
Moga-moga “Tafsir Al-Azhar” ini, sebagai ole-oleku dari tahanan, hendaknya
dapat berguna dan berfaedah bagi kaumku dan bangsaku yang haus akan penerangan
agama. Dan selanjutnya bangsaku moga-moga diapun menjadi slah satu dari alat
untuk aku mendapat syafaat dari Tuhan di akhirat.
WASSALAM
Dr. H. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah
Kebayoran Baru Jakarta 1386 / 1966
No comments:
Post a Comment