Pages

Thursday, 26 September 2013

: : Hikmah Ilahi : :

Hikmah Ilahi- Tafsir Al-Azhar
Oleh: Prof. Dr Hamka


Telah dicoba menghuraikan “Tafsir” ini tiap-tiap pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1958, namun sampai Januari 1964 belum juga tamat. Telah ditulis berturut-turut dalam majalah Gema Islam sejak Januari 1962 sampai Januari 1964, namun hanyalah satu setengah juzu’ saja, dari juz’ 18 sampai juzu’ 19.

Tiba-tiba pada 12 haribulan Ramadhan 1383 bertepatan dengan 27 Januari 1964, berlakulah takdir Allah yang tidak dapat dielakkan: “Jika langit hendak jatuh, bagaimanalah telunjuk bisa menahannya.”


Pada hari Isnin, tanggal 12 haribulan Ramadhan 1383, bertepatan dengan 27 Januari 1964, saya mengadakan pengajian mingguan di Masjid Agung Al-Azhar terhadap kira-kira 100 orang kaum ibu, yang umumnya terdiri dari kaum terpelajar. Yang ditafsirkan hari itu ialah surah al-Baqarah ayat 255, atau ayat al-Kursi yang biasa dihafal itu. Pukul 11 siang selesailah pengajian dan kembalilah saya ke rumah akan berlepas lelah sejenak menunggu datangnya waktu zohor.

Tiba-tiba setelah kira-kira setengah jam saya istirahat, anak saya memberitahu ada empat orang tetamu yang telah duduk di beranda muka ingin bertemu dengan saya. Saya berlalai-lalai kira-kira lima minit, dan saya lihat dari celah pintu ada sebuah mobil Fiat berhenti. Pada sangka saya tentulah keempat tetamu itu pengurus dari salah satu masjid di Jakarta yang mengundang untuk mengadakan tabligh dan tarawih bulan puasa.

Dengan tenang sayapun keluar. Wajah keempat tamu itu tenang dan penglihatan mereka mendalam kepada saya. Sayapun bertegur sapalah dengan mereka baik-baik dan bertanya apakah agaknya maksud kedatangan mereka. Lalu seorang di antara mereka menghulurkan sepucuk surat, bersampul baik. Surat itu saya baca dengan tenang; rupanya ialah surat perintah menangkap saya! Barulah saya tahu keempat mereka adalah polisi berpakaian preman.

Dalam keadaan tidak tahu apa kesalahan saya dalam tengahari letih berpuasa, saya dijemput dan dicabut dengan segenap kekerasan dari ketenteraman saya dengan anak isteri, disisihkan dari masyarakat dan dimasukkan ke dalam tahanan.

Setelah empat hari dalam tahanan barulah saya diperiksa, dengan tuduhan yang amat hebat dan ngeri. Yaitu bahwa saya mengadakan rapat gelap di Tanggerang pada tanggal 11 Oktober 1963. Yang diperkatakan dalam rapat itu ialah hendak membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, dan hendak mengadakan Coup d’etat.

Untuk semua maksud ini saya mendapat bantuan dari Tengku Abdul Rahman Putera, Perdana Menteri Malaysia banyaknya empat juta dollar. Artinya menurut tuduhan ini saya adalah seorang pengkhianat besar kepada tanahair saya sendiri.

Dan dituduh pula bahwa dalam salah satu kuliah saya pada bulan Oktober 1963 pada Institut Agama Islam Negeri (I.A.I.N) di Ciputat, menghasut Mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureueh, M. Natsir Dan Syafruddin Prawiranegara. Kalau mereka gagal semua, kamu janganlah sampai gagal!

Sedihlah kita memikirkan bagaimana jatuhnya mental dan moral manusia pada masa itu. Rupanya di dalam 9 orang mahasiswa yang saya beri kuliah di IAIN di waktu itu menyelinap “mahasiswa” yang kerjanya adalah mendengar-dengar kalau ada “kuliah” yang diberikan oleh seorang dosen atau guru besar, yang dapat ditarik-tarik untuk dijadikan beban fitnah bagi menghancurkan dosen tersebut. Dengan segala hormat saya diminta mengajar di IAIN dalam mata pelajaran Ilmu Tasauf, rupanya buat dipasangkan jerat bagi memfitnah saya.

Baik di pondok-pondok kuno di sudut desa, ataupun di Universitas di kampus tertentu, terdapat satu tradisi, yang rasa hormat mahasiswa kepada guru besarnya. Tetapi di masa itu mahasiswa “ditunjuk” untuk mencari jalan bagaimana supaya dosennya ditarik ke dalam tahanan.

Sungguh aneh, tetapi benar!

Difitnahkan pula bahwa perjalanan saya di awal September 1963 di Pontianak maksudnya ialah mengadakan “kontrak” dengan kakitangan Tengku Abdul Rahman yang ada di daerah itu. Padahal pidato saya di muka rapat umum di Pontianak itu diambil dengan tape-recorder, yang isinya menguntungkan Konfrontasinya Sukarno, bukan menyokong Tengku Abdul Rahman.

Itulah fitnah-fitnah yang ditimpakan kepada diriku, sehingga ditahan, ditanya dan diperiksa, tidak kurang daripada dua setengah bulan lamanya. Dengan segala macam usaha saya dipaksa buat mengaku apa yang dituduhkan. Menurut peraturan akal yang sihat, polisi yang memeriksa, itulah yang mesti mengemukakan bukti-bukti kesalahan yang dituduhkan.

Tetapi ini sebaliknya dari itu. Dengan tekanan batin yang sangat menyesak, dipasang pertanyaan-pertanyaan, kadang-kadang dengan gertak, kadang-kadang tidak membiarkan istirahat agak sejenak, kita yang ditanya disuruh mengakui hal-hal yang telah disusun menjadi tuduhan.

Dan setelah “selesai” segala pemeriksaan, teruslah ditahan. Ditahan, dengan tidak ada tanda-tanda akan segera dikeluarkan. Kalau tidaklah terjadi perubahan politik karena GESTAPU/P.K.I dengan membunuhi Jenderal-Jenderal pada 30 September 1965, tidaklah nampak suatu lobang harapanpun bahwa akan segera dikeluarkan dari tahanan, satu peraturan yang dinamai Pen. Pres (Penetapan Presiden), no. 11/1963.

Yaitu undang-undang yang membolehkan menangkap orang yang diduga atau dituduh melakukan subversif. Menurut undang-undang ini, setelah dilakukan pemeriksaan dan ternyata cukup buat membawa si tertuduh ke muka hakim, maka dalam masa selama-lamanya enam bulan, si tertuduh segera dihadapkan ke muka hakim.

Tetapi kalau ternyata tidak cukup alasan, maka kejaksaan berhak menahan selambat-lambatnya satu tahun. Bahkan di dalam salah satu fasal undang-undang itu diperingatkan pula agar jaksa menjaga jangan sampai terjadi penahanan yang berlarut-larut.

Tetapi apa yang terjadi dalam perlaksanaan? Beratus-ratus orang yang telah ditahan dengan memakai Pen. Pres. no. 11/1963 ini. Asal ada saja dugaan bahwa seseorang melakukan tindak pidana (kejahatan) subversif, ditangkaplah dia dan ditahan. Setengahnya disiksa dengan kejam, sampai jarak di antaranya dengan maut hanya beberapa langkah saja, bahkan ada yang sampai mati. Dikarang-karanglah berbagai fitnah, dengan tidak mempertimbangkan lagi benar atau tidaknya, masuk akalkah tuduhan itu atau tidak.

Masuk akalkah seorang sebagai saya, beranak sepuluh dan bercucu beberapa orang pula, akan begitu berani bermaksud membunuh Presiden dan Menteri Agama dan hendak mengadakan Kup. Rupanya, benar atau tidak tuduhan itu, masuk akal atau tidak, bukanlah soal.

Yang soal ialah menyingkirkan seseorang yang dipandang musuh poloitik atau dibenci dari masyarakat dan diri anak isterinya. Dan setelah nyata bahwa tidak ada bukti dan bahwa tuduhan itu adalah fitnah dan palsu belaka, bukanlah ditahan selambat-lambatnya satu tahun, sebagai ditulis dalam Pen. Pres. no 11/1963 itu, melainkan sampai lebih daripada dua tahun.

Pada masa itu, selalulah disorak-sorakkan bahwa Negara berdasarkan Pancasila, dan Pancasila itu tidak boleh diutik-utik. Untuk membela Pancasila, mereka injak-injaklah si Pancasila itu. Untuk menjunjung tinggi Pancasila, si Pancasila dikuburkan. Untuk membela Dasar Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, orang beragama mesti bekerjasama dengan Komunis.

Untuk menegakkan perikemanusiaan orang-orang yang dibenci ditangkapi dan dibenamkan ke dalam penjara, sedang anak-isterinya yang tinggal dibiarkan melarat, dan kalau ada yang mencoba hendak menolong anak isteri orang itu, yang menolong itu dituduh Kontra Revolusi.

Keadilan sosial dasar Negara yang kelima ditegakkan dengan bersungguh-sungguh, yaitu dibagi-bagilah dengan adil merata kemiskinan dan kemelaratan, ketakutan dan kecemasan di kalangan rakyat banyak; sedang bapak-bapak saking kasihannya terhadap rakyat “tak usah” mengambil bagian sedikit juapun dari kemiskinan dan kemelaratan itu. Pada waktu itulah Sukarno sebagai Kepala Negara selalu menganjurkan supaya rakyat makan batu. Sedang kemewahan dan kekayaan, tidak usah dibagi-bagi, biarlah beliau dengan kakitangannya saja.

Untuk menerima keadilan yang merata itu, mendapat bahagianlah saya di rumah tahanan selama dua tahun empat bulan.

Melihat tanggal mulai Pen. Pres itu diundangkan, beratlah persangkaan saya Pen. Pres ini yang terutama ditujukan kepada diri saya sendiri. Sebab saya dituduh mengadakan rapat gelap di Tanggerang pada 11 Oktober 1963, sedang Pen. Pres itu diundang-undangkan pada tanggal 14 Oktober 1963.

Sebab itu nyatalah bahwa penangkapan dan penahanan atas diri saya itu adalah kezaliman yang dilegalisir (dihalalkan) dengan undang-undang. Segala tuduhan itu adalah fitnah belaka. Saya ditangkap adalah guna menutupi maksud yang sebenarnya, yaitu menyingkirkan saya dari masyarakat.

Karena sejak saya memulai perjuangan menyebarkan Agama Islam, baik sebelum saya berpangkalan di Mesjid Agung Al-Azhar, atau sesudahnya, saya hanya menuruti satu garis yang tertentu, tidak membelok ke kiri kanan, yaitu menyebarkan kata Allah dan kata Rasul menurut yang saya yakini, tidak membenci pemerintah, dan tidak pula menjilat-jilat pemerintah, dan tidak pula mahu menyediakan diri mempermainkan keyakinan agama, untuk mencapai ridha manusia yang sedang berkuasa. Sebab tempat saya bertanggungjawab bukanlah manusia, melainkan Allah semata.

Tetapi rencana yang lahir daripada manusia lain dari rencana yang ghaib dari Allah. Yang berlaku adalah rencana Allah. Orang-orang yang memfitnah dan menzalimi saya sudah merasa sangat gembira karena saya telah dibungkemkan dan disisihkan.

Tetapi disamping hati mereka yang telah puas, Tuhan Allah telah melengkapi apa yang disabdakanNya di dalam surah At-Taghabun ayat 11. Yaitu bahawa segala musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan izin Allah belaka. Asal manusia beriman teguh kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan hidayat ke dalam hatinya. 

Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak isteri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan al-Quranul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati.

Masa terpencil terpencil dua tahun telah saya pergunakan sebaik-baiknya. Maka dengan petunjuk dan hidayat Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum saya dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran al-Quran 30 juzu’ telah selesai. Dan semasa dalam tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan.

Sungguhlah suatu keajaiban kalau kita perbandingkan di antara kehendak Allah dengan kehendak manusia. Saya insaf benar bahwa kesanggupan yang diberikan tuhan kepada saya, diberi tugas hidup buat mengarang dan berpidato, tidaklah semua orang yang menyenanginya. Banyaklah mereka itu yang hasad melihat kesanggupan ini. 

Yaitu manusia-manusia yang berjiwa kecil, yang menyangka bahwa dengan berbuat dan menyusun fitnah, hasad dengkinya bisa dilepaskan. Yang merasa diri BESAR karena pangkat, dan kembali menjadi kepinyuk kecil setelah pangkatnya ditinggalkan dari dirinya.

Bagaimanalah kalau mereka tahu bahwasanya masa tahanan dua tahun itu kelaknya akan menghasilkan karangan sebesar ini? Kalau mereka diberitahu Tuhan bahwa hal ini akan kejadian, agaknya akan mereka undurkanlah maksud mereka memfitnah saya, dan tidaklah jadi-jadi “Tafsir” ini.

Sungguh Allah Maha Kuasa!

Zaman bergilir, ada yang naik dan ada yang jatuh, dunia tiada kekal. Bagi diriku sendiri, di dalam hidup ini akupun datang dan akupun pergi. Kehidupan adalah pergiliran di antara senyum dan ratap. Airmata adalah asin; sebab itu ia adalah garam dari penghidupan.

Aku mengharap, jika aku mendapat aniaya oleh suatu kekuasaan orang zalim, hanya semata-mata karena mereka suatu waktu berkuasa, pasti datang zamannya, aku dan mereka sama-sama tidak ada lagi di dunia ini. Maka moga-moga dengan meninggalkan “Tafsir” ini, ada yang diingat-ingat orang dari diriku sebagai suatu hasil khidmat untuk Tuhan dan ummat. Yang dapat aku kerjakan di dalam saat-saat aku teraniaya.

Moga-moga akan datanglah masa-nya, aku tidak ada lagi dan orang-orang menganiayakupun tidak ada lagi, tetapi “Tafsir” ini masih dibaca dan ditelaah orang, walaupun pengarangnya sudah lama berlalu. Dan aku tidak dapat memastikan, apakah yang menjadi buah tutur orang terhadap para penganiaya itu setelah mereka meninggalkan dunia yang fana ini?

Kalau tidaklah mengingat akan “kehidupan kedua kali” itu, mungkin sudah lama saya pun dibawa hanyut oleh nafsu hendak berkuasa dan kemudiannya menjadi mabuk oleh kekuasaan itu: Na’udzu Billah!

Seorang di antara anak saya pernah mengusulkan supaya di kata pendahuluan “Tafsir” ini saya sampaikan terima kasih kepada mereka yang telah menyusun fitnah ini, yang menyebabkan saya ditahan sekian lama. Oleh karena tersebab tahanan inilah “Tafsir” ini dapat dikerjakan dengan tenang dan dapat diselesaikan. Maka usul anak saya telah saya jawab:

“Tidak anakku! Ayah tidak hendak berterima kasih kepada mereka itu! Karena terima kasih yang demikian akan menambah hasad mereka juga. Bahkan akan mereka katakan ayah mencemuh kepada mereka karena maksud mereka digagalkan Tuhan. Ayah belumlah mencapai derajat yang demikian tinggi, sehingga mengucapkan terima kasih kepada orang yang aniaya, zalim, hasad, dengki. Atau orang memakai kekuasaan yang ada dalam tangan mereka buat melepaskan sakit hati. Ayah akan tetap berpegang pada pendirian Tauhid, yaitu mengucapkan syukur dan puji-pujian hanya untuk Allah saja.

Allah Yang Maha Kuasa atas segala kekuasaan, Allah yang lebih tinggi dari segala macam kebesaran. Allah yang ajaib siasatnya daripada segala siasat manusia. Hanya kepadaNya sajalah ayah sampaikan segala syukur dan segala terima kasih.

Adapun kepada mereka itu yang telah menyusun fitnah itu, atau yang telah menumpangkan hasadnya dalam fitnah orang lain, setinggi-tinggi yang dapat ayah berikan hanya maaf saja. Sebab kalau berpangkat dan berkuasa, maka pangkat dan kekuasaan itu adalah bergiliran di antara manusia.

Betapa tidak, karena fitnah dan hasad manusia ayah terpencil. Padahal dalam masa terpencil itulah ayah dapat berkhalwat dan beribadat lebih khusyu’. Saat-saat senggang yang begitu luas, malamnya dapat ayah pergunakan buat ibadat, munajat dan tahajjud. Siang yang panjang dapat ayah gunakan buat mengarang, tafakkur dan muthalaah. Semuanya itu dengan pertolongan dan hidayat Tuhan.”

Mereka yang hasad dan zalim itulah yang sebenarnya diazab oleh perasaan hati mereka sendiri. Mereka adalah orang yang mabuk oleh karena kekuasaan. Mereka berperang di dalam hati sendiri, di antara perasaan halus sebagai insan, dengan kekuasaan tuntutan hawa nafsu.

Niscaya di antara mereka ada juga sisa-sisa iman dalam hati mereka. Di dalam sanubari mereka kadang-kadang tentu timbul penyesalan sebab mereka telah berbuat aniaya kepada orang tidak bersalah. Mereka telah menyebabkan terpisahnya seorang ayah dengan anak-anaknya, seorang suami dengan isterinya. Dan mereka sebab masih ada sisa iman, masih percaya bahwa satu waktu keadilan Tuhan akan berlaku ke atas diri mereka. Tetapi oleh karena satu kali jiwa mereka telah terjual kepada syaitan, mereka tidak bisa surut lagi.

Di dalam surah al-Baqarah ayat 257 diterangkan perbandingan jiwa orang yang berwali kepada allah dengan orang yang berwali kepada syaitan. Adapun orang yang berwali kepada Allah, maka Allah mengeluarkan mereka dari gelap gulita rohani kepada terang benderang (Nur) iman. Tetapi orang yang berwali kepada thaghut, yaitu syaitan halus dan syaitan kasar, besar, berhala atau manusia yang diberhalakan, atau yang disebut tirani, yang di dalam Arabnya disebut juga thaghiyah, yang satu rumpun dengan thaghut tadi, maka thaghut ini mencabut mereka daripada terang kepada gelap.

Kalau tadinya iman mereka sudah ada, lantaran berwali kepada thaghut, maka iman itu kian lama kian kabur, akhirnya bisa habis. Mereka kadang-kadang menyesal, tetapi tidak dapat lagi melepaskan diri daripada thaghut itu. Sehingga kita dapat bertanya: “Siapakah yang beroleh kemerdekaan jiwa? Apakah kami yang dianiaya dan difitnah, ataukah penganiaya atau tukang-tukang fitnah itu sendiri?”

Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah tatkala beliau telah dipenjarakan karena hasad dengki musuh-musuhnya. Pada waktu beliau hidup, dia hanya manusia biasa, bukan berpangkat, bukan berkuasa. Maka pihak-pihak yang berkuasa mempergunakan kekuasaan buat menahan beliau, sehingga bertahun-tahun lamanya beliau meringkuk dalam penjara. Sebabnya hanya satu, yaitu jiwanya tidak bisa dibeli dengan pangkat.

Maka berkatalah beliau kepada muridnya Ibnul Qayyim, yang sama-sama dipenjarakan orang: “Apakah lagi yang didengkikan oleh musuh-musuhku kepadaku? Penjara itu bagiku adalah untuk berkhalawat, dan pembuangan adalah untuk menambah pengalaman! Orang yang terpenjara ialah yang dipenjarakan oleh hawa nafsunya dan orang yang terbelenggu itulah yang telah dibelenggu oleh syaitan.”

Tidaklah dapat saya menghitung berapa nikmat Ilahi yang telah saya terima. Satu di antara nikmatnya yang besar kepadaku ialah aku tidak termasuk dalam golongan tukang fitnah dan tidak pula termasuk orang yang zalim.

Imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan, bahwasanya tanda alamat orang yang berjalan atas yang hak ialah bila dia mati dihantarkan jenazahnya ke pusaranya oleh ribu-ribu manusia, dengan sukarelanya sendiri. Perkataan Ahmad bin hambal ini dicatatkan kembali oleh pengarang riwayat hidup Ibnu Taimiyah setelah beliau wafat. Ialah karena menyaksikan bahwa seketika jenazahnya beliau hantarkan dari dalam penjara Damaskus ke perkuburan, telah diiringkan oleh tidak kurang daripada satu juta manusia!

Ibnu Taimiyah telah mati, sebab itu dia tidak menyaksikan begitu besar jumlahnya orang yang mencintai dia. Tetapi saya sekali lagi bersyukur kepada Allah, dan beribu kali lagi bersyukur kepada Allah, karena saya dengan sebab tahanan ini dapat menyaksikan bahwa masih ada rupanya orang yang mencintai saya. Baik sejak saya dalam tahanan di rumah sakit, ataupun setelah dalam tahanan rumah ataupun setelah tahanan kota.

Ada utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Palembang. Dan salah seorang utusan yang dari Palembang ini ialah seorang Ulama dari Mesir, dosen salah satu perguruan tinggi Islam di sana. Beliau menyampaikan pula bahwa ulama-ulama di Al-Azhar mendoakan moga-moga saya lekas terlepas daripada balabencana ini. Dan juga utusan dari Makasar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan lain-lain. Dan dari beberapa kawan yang kembali dari mengerjakan Haji, saya terima khabar bahwa beratus-ratus di antara mereka mendoakan di Multazam, moga-moga keadilan Allah berlaku, kejujuran menang dan kecurangan tumbang.

Semuanya itu dapat saya saksikan tatkala saya masih hidup, dengan tidak menunggu mati terlebih dahulu buat diiringkan orang jenazah saya ke perkuburan dengan sukarela.

Sungguh Allah Maha Kuasa!

Dan satu nikmat lagi yang kurasakan sampai sekarang bahkan Insya Allah sampai saya menutup mata kelak tidak akan hilang-hilang dari dalam jiwaku, ialah nikmat pada jiwa sejak sehari aku dibebaskan dari tahanan. Pihak Kejaksaan Agung dan pihak Panglima Angkatan Kepolisian mengeluarkan “Surat Keterangan” bahwa aku tidak bersalah, sebab itu kepadaku tidak akan diadakan tuntutan dan aku dibebaskan.

Aku bersyukur dan aku bersujud kepada Tuhan.

Sebab selama dalam tahanan itu, selain dari mengerjakan “Tafsir” ini di waktu siang, di malam hari mendapat kesempatan sangat luas buat mengerjakan Tilawatul-Quran, sampai khatam lebih dari 100 kali. Saya mendapat kesempatan buat mengerjakan Tahajjud dan munajat hampir setiap malam. Buku-buku penting dalam hal Tasauf, Tauhid, Filsafat Agama, Hadis-hadis Rasulullah, Tarikh pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasauf dan ulama, jalan akhirat dapat saya baca dan dapat saya resapkan ke dalam jiwa. Sungguh, kalau penahanan ini tidak terjadi, tidaklah saya akan mendapat kesempatan seluas itu.

Terus terang saya katakan di sini, bahwa sekali-sekali, atau kerapkali timbul juga kesedihan hati karena kemerdekaan dirampas, apatah lagi karena berbulan-bulan lamanya “gelap” saja keadaan, tak tentu lagi bila akan pulang, sehingga kerap juga ditimpa rasa murung. Mengarang tafsir di waktu pagi, membaca buku-buku di petang hari, tilawatil-Quran di antara maghrib dan isya’, dan tahajjud serta munajat lepas tengah malam, adalah obat yang paling mujarab pengobat muram dan kesepian. “Di waktu segala jalan hubungan di bumi ditutup orang, hubungan di langit lapang terluang.”

Di waktu saya telah keluar dan bebas, saya bersujud mensyukuri nikmat dan memohon ampun saat-saat aku merasa lemah. Sebab sesampai di luar terasalah kekayaan jiwa karena lepas dari ujian itu. Bersyukur atas kesempatan ibadat dan munajat yang diberikan Tuhan. Bersyukur karena dua tahun empat bulan lamanya aku disimpan Tuhan, sehingga tidak kena kekotoran dan debunya zaman kezaliman, yang kalau saya di luar pada masa itu, mungkin untuk menjaga keselamatan diri sendiri, saya terpaksa menempuh jalan orang munafik, turut menyokong kezaliman itu padahal berlawanan dengan hati.

Di dalam orang di mana-mana menyorak soraikan Orde Baru dan menentang Orde Lama, dengan kepala terangkat dan tahu harga diri saya dapat berkata bahwa saya tidak termasuk Orde Lama. Allah sendiri, dengan memakai tangan orang-orang yang zalim itu, yang memeliharakan saya dari cap Orde Lama.

Kemudian Allah memperlihat terus menerus kekuasaanNya, orang-orang yan berbuat zalim itu jatuh satu demi satu dari kemegahannya. Mereka tidak tergantung kepada Tuhan, melainkan kepada pangkat. Pangkat itupun jatuh. Ada di antara mereka yang telah hilang saja dari arena masyarakat, meskipun tubuh masih ada.

Ada yang ditahan berbulan-bulan dan menunggu perkara dibuka, sebagaimana yang dahulu mereka lakukan kepada orang lain, dan ada yang menerima hukuman dari kesalahannya, hukuman buang atau hukuman mati. Dan ada yang payah mengangkat muka kepada masyarakat, sebab segala perbuatan di zaman kemegahan dahulu tidak lepas dari ingatan masyarakat. Dan ada pula yang lebih tinggi sorak sorainya menyerukanOrde Baru, meskipun orang tahu lakon yang pernah dilaluinya.

Alhamdulillah, saya dibebaskan Tuhan daripada itu semuanya. Maka di samping bersujud karena bersyukur, saya bersujud karena memohon ampun kepada Tuhan, sebab di dalam sepinya pengasingan, kerap juga saya muram dan merasa sepi. Karena rupanya perahu iman itu mesti berlayar di atas hidup yang bergelombang.

Ampuni aku, ya Tuhanku, atas kelemahanku. Laksana lautan nikmat yang Engkau timbakan ke atas diriku, sedang persediaan diri ini amat kecil buat menampungnya.

Dari usia masih muda remaja, sampai mulai tua menjunjung uban, tidaklah mendatar saja jalan yang harus aku tempuh. Karena tahanan lebih dua tahun ini adalah menjadi salah satu matarantai kalung keemasan yang ditatahkan pada leher sejarah hidupku. Dia menjadi lebih indah lagi, karena kezaliman dan fitnah ini baru menimpaku setelah tanahairku merdeka!

Aneh, tetapi benar!

Susun kata apakah lagi yang harus aku susunkan buat mengucapkan syukur puji-pujian kepada Allah atas segala nikmat yang telah Dia beriakan kepadaku. Aniaya manusia diputar olehNya menjadi nikmat. Aku difitnah, dizalimi dan dipisahkan dari masyarakat, namun imanku bertambah dalam kepadaNya, cintaku tidak dapat lagi dapat diperbandingkan dengan segala macam cinta.

Ada beberapa orang muridku pula, mengatakan bahwa pangkatku dalam hati kaum Muslimin, khususnya yang berbahasa Indonesia dan Melayu, sudahlah tinggi.

Aku syukuri penilaian itu dan aku akui, tetapi aku tambahkan lagi. Pangkatku ini aku cari sendiri dengan tidak merugikan orang lain dan tidak dengki kepada pangkat orang lain. Pangkatku ini tidak aku dapat dengan berpijak di atas kuduk orang-orang yang memusuhiku; syukur Alhamdulillah!

Moga-moga “Tafsir Al-Azhar” ini, sebagai ole-oleku dari tahanan, hendaknya dapat berguna dan berfaedah bagi kaumku dan bangsaku yang haus akan penerangan agama. Dan selanjutnya bangsaku moga-moga diapun menjadi slah satu dari alat untuk aku mendapat syafaat dari Tuhan di akhirat.

WASSALAM

Dr. H. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah

Kebayoran Baru Jakarta 1386 / 1966

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...